Selasa, 23 April 2013

Masjid Muhammad Ali, Masjid Mesir Bercita Rasa Turki

Masjid Muhammad Ali, Masjid Mesir Bercita Rasa Turki (www.allposters.com)
GMATours | Agen Wisata Murah - Masjid Muhammad Ali, pernah mendengar namanya? Jika belum, wajar, masjid ini memang terletak di Kairo, Mesir.

Sejarah mencatat, selama abad ke-19 M, setahap demi setahap berbagai masalah perkotaan dan pedesaan di Mesir mulai tertata. Jumlah penduduk kota Kairo mulai merangkak naik dan kelas menengah yang berkecukupan pun mulai terbentuk. Di antara kelas menengah tersebut terdapat para tuan tanah dan hartawan, baik di perkotaan maupun pedesaan. Setahap demi setahap, kota Kairo berubah menjadi sebuah kota besar sekaligus ibukota sebuah negara yang mapan.

Situasi ini mendorong Muhammad Ali untuk membangun sebuah masjid bergaya Turki murni, yaitu perpaduan antara Masjid Biru (Blue Mosque) dan Hagia Sophia di Istanbul, Turki. Dirancanglah masjid ini oleh seorang arsitek Turki, Yousef Bousnaq, dibantu sejumlah insinyur dari Perancis dan Italia. Di antara ide yang dikemukakan para insinyur ini adalah pemilihan lokasi yang unik, yaitu di puncak Benteng Salahuddin Al-Ayyubi (Qaet el-Gabal atau Qal’et Salah Al-Din) yang kala itu lokasinya masih berada di pinggiran kota Kairo. Masjid Muhammad Ali dibangun pada tahun 1245-1266 H/1830-1849 M.

Dengan dipilihnya tempat ini, panorama di sekitar benteng pun menjadi benar-benar eksotik. Dari lokasi Masjid, kita bisa melihat berbagi penjuru kota Kairo. Dulu, ketika ibukota Mesir belum banyak dihiasi bangunan yang tinggi menjulang, piramida-piramida di Giza pun dapat disaksikan dengan jelas dari Masjid ini.

Masjid Muhammad Ali memiliki bentuk yang relatif kecil dibandingkan masjid-masjid bergaya Turki di ibukota Dinasti Utsamniyyah, Istanbul. Namun, masjid ini tidak kalah cantik dan memikat. Hal ini disebabkan keselarasan luar biasa yang mewarnai masjid tersebut.

Masjid Muhammad Ali memiliki ciri khas, yaitu dua menara ramping yang mengapit empat kubah utama. Terdapat ruang shalat yang lapang dan megah berukuran 41 x 41 meter, dengan dinding-dinding tinggi menjulang yang dilengkapi qimiriyah berwarna–warni dan penyangga-penyangga pualam. Di samping penyangga-penyangga yang menopang panggung utama, terdapat tiang-tiang pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.

Sistem pencahayaan masjid ini pun sangat baik, terlihat dari adanya lampu-lampu gantung raksasa di bagian tengah. Lampu tersebut diberi bingkai lampu-lampu gantung listrik dengan ukuran lebih kecil, yang dikelilingi bola-bola kristal yang sangat indah.

Bagian dalam masjid ini bergaya barok, suatu gaya yang tumbuh selepas masa Renainsans mutakhir yang sarat dengan dekorasi dan ornamen. Akibatnya, dekorasi dan ornamen tersebut acap kali menutup keindahan bangunan aslinya. Namun, dekorasi tersebut tidak merusak keindahan bagian dalam masjid. Jika memasukinya, terasa  sentuhan Perancis-Italia.

Kubah utama Masjid Muhammad Ali bertumpu di atas penyanga kokoh dari batu yang dipahat dan dilapisi pualam. Kubah tersebut, berikut empat kubah lainnya, dihiasi dan diselimuti enam medali dan beragam motif lainnya. Pada keenam medali yang mengitari kubah utama tertoreh kaligrafi nama-nama Allah, Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Bagian interior kubah (sniffstravels.blogspot.com)
Masjid Muhammad Ali memiliki lengkung-lengkung di dalam ruang shalat yang sangat memikat pandangan karena begitu lapang dan tinggi. Di samping itu, ceruk kubahnya terlihat sangat menawan. Pada saat lampu-lampu masjid dan lampu-lampu gantung ukuran kecil yang mengitari ruang shalat tersebut dinyalakan, masjid ini menjadi begitu menawan. Tak ada yang bisa menandinginya, kecuali Masjid Biru di Istanbul.

Segala sesuatu yang terdapat di masjid ini memang bernilai mahal, mulai dari kayu, tembaga, kuningan, kaca berwarna-warni, sampai karpet-karpet yang sangat menawan. Terdapat dua mimbar, yang besar terbuat dari kayu dan kecil terbuat dari marmer, yang merupakan hadiah dari Raja Faruq pada tahun 1358 H/1939 M. Meskipun berlanggam barok, mimbar-mimbar itu begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen. Masjid ini menjadi titik akhir dari berbagai tradisi gaya arsitektur islam lama dan titik awal kelahiran sebuah langgam baru dari arsitektur Islam.

Selain ruang shalat yang telah dijelaskan di atas,masjid ini juga memiliki shahn (ruang terbuka) berukuran 54 x 53 meter. Di bagian tengah ruang tersebut terdapat tempat wudhu berbentuk persegi delapan dan dihiasi kanopi berkubah besar di atas delapan tiang dengan onamen natural. Di bawah kubah itu terdapat kubah kecil berbentuk oktagonal yang dihiasi motif-motif floral.

Jam hadiah dari Raja Perancis
(scotsabroad.wordpress.com)
Di ruang terbuka ini, di lokasi yang berseberangan dengan pintu masuk masjid, terdapat sebuah jam. Jam yang terletak di atas atap tersebut merupakan hadiah dari Louis Philppe, Raja Perancis kepada Mesir. Pemberian itu sebagai pengganti obelisk yang dihadiahkan Mesir kepada Perancis yang kini ditempatkan di Place de la Concorde, Paris. Jam yang diterima pada tahun 1261 H/1845 M dan sangat unik tersebut ikut menambah keelokan masjid tersebut.

Pada tahun 1317 H/1899 M, Masjid Muhammad Ali mengalami retak di berbagi bagian. Pada tahun 1350 H/1931 M, Raja Fuad I bersama sebuah komite yang terdiri dari sejumlah arsitektur terkemuka menyarankan agar kubah-kubah masjid dipugar seluruhnya. Selanjutnya pada tahun 1350-1358H/1931-1939 M, masjid tersebut dipugar dan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. (Jng/RA)